Selasa
PENOLONG MISTERIUS
Ketika senja telah turun
mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu
untuk memenuhi panggilan azan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
“Allahu Akbar!” suara
lelaki itu mengawali salatnya.
Khusyuk sekali ia
melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas
sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian doa. Seusai salat,
lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata
mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik
ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
“Rupanya malam sudah
larut…,” bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki
ahli ibadah yang terkenal sebagai saudagar yang kaya raya itu berjalan menuju
gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang
hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan
bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap
gulita, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya
yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu,
lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan
sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah
kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
“Alhamdulillah, harta
titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,” kata Ali Zainal Abidin.
Lega hatinya dapat
menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang
terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang,
orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
“Hah, siapa yang sudah
menaruh karung gandum ini?” seru orang yang mendapat jatah makanan :Rezeki
Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!” Sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam
berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan makanan untuk orang-orang
miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya
tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakkan karung-karung di muka
pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
“Sungguh kita terbebas
dari kesengsaraan dan kelaparan, karena seorang penolong yang tidak diketahui!”
kata orang miskin ketika pagi tiba.
“Ya, semoga Allah
melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong,: timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal
Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya
bersyukur kepada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin
hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali
Zainal Abidin semakin berlipat-lipat.
Tak seorang pun yang tahu
dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimnya?
Ali Zainal Abidin senang
melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparan. Ia selalu mencari
tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan dan malam harinya, ia segera
mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti
biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan
tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba, tanpa diduga seseorang melompat dari
semak belukar. Lalu menghadangnya!
”Hai! Serahkan semua harta
kekayaanmu! Kalau tidak…,” orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau
tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah.
Ia tersadar kalau dirinya sedang dirampok. “Ayo cepat! Mana uangnya?!” gertak
orang itu sambil mengacungkan pisau.
Ali lalu menurunkan karung
di pundaknya, lalu sekuat tenaga ia lemparkan karung itu ke tubuh sang
perampok. Membuat orang bertopeng terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban
karung itu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang
menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan.
“Siapa kau?!” Tanya Ali
sambil memperhatikan wajah orang itu.
“Ampun, tuan! Jangan siksa
saya. Saya hanya seorang budak miskin…,” katanya ketakutan.
“Kenapa kau merampokku?”
Tanya Ali kemudian.
“Maafkan saya, terpaksa
saya merampok karena anak-anak saya kelaparan,” sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang
menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati
menanyainya terus.
“Ampunilah saya, tuan.
Saya menyesal sudah berbuat jahat…,”
“Baik! Kau kulepaskan. Dan
bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?”
kata Ali.
Beberapa saat orang itu
terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
“Sekarang, pulanglah!”
kata Ali.
Seketika orang itu pun
bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
“Tuan, terima kasih! Tuan
sangat baik dan mulia! Saya bertaubat kepada Allah. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,”
kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan
mengangguk.
“Hai, orang yang taubat!
Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah Maha Pengampun.”
Orang itu bersyukur kepada
Allah. Ali lalu memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertaubat atas
kesalahannya.
“Aku minta, jangan kau
ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini…,” kata
Ali sebelum orang itu pergi, “Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala
dosaku,” sambung Ali.
Dan orang itu menepati
janji. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini
telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika, Ali Zainal
Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia
ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat
bekas-bekas hitam di punggung dan pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
“Dari manakah asal
bekas-bekas hitam ini?”
“Itu adalah bekas
karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di
Madinah,” kata orang yang bertaubat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu
dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan
wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga mereka yang biasa diberi sumbangan itu
merasa kehilangan.
Orang yang bertaubat itu
lalu mengengkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, ampunilh dosa Ali bin
Husein bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw. Ini.
daftar bisnis ustad yusuf mansur
daftar bisnis ustad yusuf mansur