Selasa
AGAR SEDEKAH TIDAK SIA - SIA
1. Tidak
mengungkit-ungkit pemberian
Allah memberikan informasi bahwa pahala sedekah itu
dapat hilang karena diungkit-ungkit dan tindakan lain berupa menyakiti orang
yang diberi sedekah setelah sedekah diberikan. Dosa mengungkit-ungkit dan
menyakiti itu menyebabkan hilangnya pahala sedekah.
Ibnu Katsir berkata, “Janganlah kalian membatalkan
pahala sedekah dengan menyakiti dan mengungkit-ungkitnya, sebagaimana tidak
bernilainya sedekah orang riya’ (pamer). Orang yang riya’ adalah orang yang
menampakkan sikap di hadapan orang lain bahwa dia ikhlas dalam beramal, padahal
maksud sebenarnya adalah agar dia dipuji oleh orang lain atau agar tenar dengan
sifat dengan sifat-sifat terpuji sehingga banyak orang yang mengaguminya. Atau
agar disebut sebagai orang dermawan dan maksud-maksud keduniamian lainnya.
Orang yang riya’ tidak memiliki perhatian untuk taat kepada Allah, mencari
ridha-Nya, dan mengharap pahala-Nya yang berlimpah. Oleh karena itu, Allah
berfirman: “Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS.al-Baqarah:
164).
Ibnu Katsir menambahkan, “Jika hujan reda, lalu meninggalkan
batu besar dan dalam keadaan kering mengkilat tanpa ada satupun debu di
atasnya, bahkan seluruh debunya hilang. Demikianlah amal orang-orang yang
riya’, amal tersebut hilang dan lenyap di sisi Allah meskipun terlihat memiliki
amal dan pandangan manusia. Namun, amal tersebut tidaklah lebih bagaikan debu.”
Abu Hurairah r.a menceritakan bahwa ada orang-orang
berkelompok bertanya kepadanya, “Wahai tuan, ceritakan kepadaku sebuah hadis
yang engkau dengar langsung dari Rasulullah!”
“saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesungguhnya,
orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid.
Ia didatangkan dan ditanyakan akan nikmat-nikmatnya, lalu ia mengakuinya Allah
Swt, berfirman kepadanya: Apakah yang kamu amalkan di dunia ini? Ia menjawab:
Saya berperang hingga mati syahid. Allah berkata: Kamu berdusta, tetapi kamu
berperang supaya orang-orang berkata bahwa engkau pemberani dan itu telah
dikatakannya. Lalu Allah Swt memerintahkan agar wajahnya ditarik, kemudian
dilemparkan ke dalam api neraka.”
Berikutnya adalah orang yag mempelajari ilmu, ia
mengajarkannya, dan suka membaca al-Qur’an didatangkan kepada-Nya.
Nikmat-nikmatnya ditanyakan dan ia mengakuinya. Allah berkata, “Apakah yang
kamu kerjakan di dunia ini?”
Ia menjawab, “Saya mempelajari ilmu dan suka membaca
al-Qur’an karena-Mu.”
Allah Swt, berfirman,”Kamu berdusta karena kamu
mempelajari ilmu supaya orang-orang mengatakan bahwa kamu pandai dan ahli dalam
bidang al-Qur’an dan semua itu telah diucapkan oleh mereka. ”Allah pun
memerintahkan agar ia dicampakkan ke dalam api neraka.
Selanjutnya, orang yang diberikan kelapangan oleh Allah
dan diberi berbagai macam harta didatangkan dan ditanyakan akan
nikmat-nikmatnya, dan ia mengakuinya. Allah Swt, berfirman, “Apakah yang kamu
kerjakan di dunia?”
Ia menjawab, “Saya tidak meninggalkan jalan yang Engkau
senangi untuk menginfakkan harta melainkan saya menginfakkannya karena-Mu.”
Allah menjawab, “Kamu berdusta, tetapi kamu
mengerjakannya supaya kamu dikatakan sebagai orang dermawan dan itu telah
dikatakannya. ”Allah lalu memerintahkan agar wajahnya ditarik dan dilemparkan
ke dalam api neraka.” (HR.Muslim)
Dalam tafsirnya, Ibnu Sa’di mengatakan, “Karena sifat
kasih sayang dan lemah lembut yang Allah miliki, Allah melarang hamba-Nya menghapus
pahala sedekah dengan menyakiti dan mengungkit-ungkitnya. Sehingga memberi
dengan menyakiti dan mengungkit-ungkit suatu pemberian itu akan menyebabkan
batalnya pahala suatu sedekah. Ini berarti bahwa amal kejelekan dapat menghapus
amal kebaikan sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak menghapus amalanmu sedangkan kamu
tidak menyadarinya.” (QS.al-hujurat:2)
Sebagaimana kebajikan itu dapat menghilangkan
kejelekan, maka amal kejelekan pun dapat menghapus amal kebajikan yang semisal
dengannya.
Allah Swt, berfirman:
“Dan janganlah kamu
merusak amal-amalmu.”(QS.Muhammad:33)
Ayat ini merupakan dalil yang berisi anjuran untuk
menyempurnakan dan menjaga amal dari segala sesuatu yang merusaknya agar amal
tersebut tidak hilang dan sia-sian.
Nah, janganlah sekali-kali kita memberi, lalu kita
sebut-sebut pemberian itu hingga ia merasa malu dan dapat menyakitinya.
Pelipatgandaan rezeki dalam surat al-Baqarah ayat 261 tidak akan pernah
diperoleh jika kita melakukan dua kegagalan: menyebut-nyebut pemberian atau
mengungkit-ungkit pemberian dan menyakitinya.
Menyebut-nyebut pemberian itu tidak hanya ketika kita
sedang memberi, tetapi berlaku juga setelah dalam jangka waktu yang lama
sekalipun. Karena hal ini menyebabkan rasa malu.
Allah melarang hal
demikian dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya, dan tidak pula mengganggu (menyakiti
perasaannya), bagi mereka di sisi tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran atas
mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS.al-Baqarah:262)
Maksud ayat di atas, bahwa Allah akan memberikan
balasan lebih atas pemberian kita jika kita menghindari dua keburukan: tidak
menyebut-nyebut pemberian dan tidak menyakiti perasaannya.
Penyebab utama kenapa pemberi sedekah mengungkit
pemberiannya dan menyakitinya adalah mungkin ia merasa orang yang diberinya
sedekah itu tidak memberikan imbalan lebih kepadanya atau minimal setara dengan
pemberiannya.
Tindakan seperti ini bertentangan dengan logika.
Bagaimana bisa orang yang memberi sedekah, lalu ia minta balasan lebih jika
orang yang diberi sedekah adalah orang yang lebih butuh darinya?
Kalau tidak itu, ia merasa disakiti karena sedekah yang
ia berikan kepada orang lain itu tidak ada imbalan berupa pujian, penghormatan,
dukungan, dan pembelaan kepadanya. Lalu diungkitlah pemberian itu. Tentu ini
sangat menyakitkan!
Berkaitan dengan hal ini,
Allah berfirman:
“perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih
baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS.al-Baqarah:263)
Maksud ayat di atas adalah bahwa perkataan baik dan
halus yang tidak menyakiti itu lebih terpuji daripada bersedekah tetapi
disertai kata-kata menyakitkan. Demikian juga memberi maaf kepada peminta-minta
karena tidak jarang peminta-minta itu sering mendesak atau merengek, itu lebih
baik daripada memberi tapi disertai dengan sesuatu yang sangat menyakitkan hati
orang yang diberinya. Hal ini karena memberi dengan menyakiti adalah aktivitas
yang menggabung antara kebajikan dan keburukan. Akan tetapi, keburukannya jauh
lebih besar daripada kebaikannya.
2. Ikhlas
Rasulullah Saw, bersabda:
Umar bin Khatab Ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah
bersabda, “segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya
mendapatkan sesuai niatnya. Maka, siapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahya
itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya,
maka hijrah itu kepada apa yang ditujunya.” (HR.Bukhari Muslim)
Hadis ini merupakan salah satu dari hadis-hadis yang
menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata, “Dalam hadis
tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba
itu terdiri dari perbuatan hati, lisan, dan anggota badan, sedangkan niat
merupakan salah satu bagian dari ketiga unsur tersebut.”
Sebab diturunkannya hadis ini kala itu ada seorang yang
hijrah dari Makkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita
yang konon bernama “Ummu Qois” bukan untuk meraih pahala berhijrah. Maka, orang
itu kemudian dikenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais” (orang yang berhijrah
karena Ummu Qais).
Para ulama gemar memulai karangannya dengan mengutip
hadis ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadis ini pada kitabnya adalah
Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Bagi setiap penulis buku
hendaknya memulai tulisannya dengan hadis ini untuk mengingatkan para
pembacanya agar meluruskan niatnya.”
Pada hadis ini, kalimat “Segala amal hanya menurut
niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan
syariat, sehingga setiap amal yang dibenarkan syariat tanpa niat, maka tidak
berarti apa-apa.
Yang dimaksud niat di sini adalah niat tulus (ikhlas)
melakukan ibadah itu karena Allah. Amal karena riya’ tidak disangsikan adalah
amal yang tertolak sejak awalnya, karena syarat diterimanya amal dimaksudkan
untuk mengharap ridha Allah semata. Sedangkan amal orang yang riya’ itu ia
beramal untuk manusia bukan untuk Allah. Oleh karena itu, segala amalnya akan
percuma dan usahanya sia-sia.
Pemisalan yang tepat untuk orang yang ibadah bukan
karena Allah, sebagaimana pendapat Ibnu Katsir adalah ibarat batu keras dan
mengkilat. Di atas batu tersebut terdapat debu, kemudian turun hujan yang deras
sehingga tidak tersisa satu pun debu di atasnya. Demikian pemisalan orang yang
beramal karena riya’. Hatinya keras dan kasar bagaikan batu. Sedangkan sedekah
yang dia lakukan atau amal salehnya yang lain, laksana debu di atas sebuah
batu.
Orang yang bodoh disamakan dengan keadaan batu itu. Ia
akan beranggapan bahwa batu tersebut adalah tanah subur yang cocok untuk
ditanami. Tetapi, ketika keadaan sebenarnya dari batu trungkap dengan hilangnya
debu tersebut, maka nyata sudah bahwa amal orang tadi adalah tak ubahnya dengan
fatamorgana. Sesungguhnya hatinya tidak cocok untuk tumbuh dan berkembangnya
tanaman-tanaman. Bahkan riya’ yang ada dalam dirinya dan keinginan-keinginan
tercela lain, mencegah untuk dapat mengambil manfaat dengan amal yang
dilakukan.
Karena itu, Allah menegaskan bahwa mereka tidak mampu
memanfaatkan sedikit pun amal yang telah mereka lakukan. Hal ini karena mereka
meletakkan amal tidak pada tempatnya dan menjadikan amal tersebut untuk makhluk
yang semisal dengan mereka, yang tidak dapat mengatur bahaya dan manfaat untuk
mereka.
Mereka telah berpaling dari ibadah kepada Zat yang
ibadah tersebut mampu mendatangkan manfaat untuk mereka sendiri. Oleh
karenanya, Allah palingkan hati mereka dari hidayah.
3. Harta
yang halal
Sedekah dengan harta halal ini adalah syarat wajib yang
harus dipenuhi oleh pemberi sedekah. Imam Hasan Bashri berkata, “Hendaklah
seseorang bersedekah kepada orang lain yang membutuhkan dengan harta yang
dihasilkan dari yang halal. Barangsiapa yang bersedekah dari harta yang haram,
maka ia penipu.”
Dalam sebuah hadis,
Rasulullah bersabda:
“wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik,
dan tidak menerima kecuali yang baik.”
Semua orang tentu mengetahui bahwa harta yang diperoleh
dengan cara yang melanggar peraturan agama adalah harta haram. Oleh karenanya,
sedekah dari harta yang haram tidak akan diterima dan tidak akan mendapat
pahala dari Allah Swt.
Abu Hurairah mengungkapkan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa
mengumpulkan harta yang haram, kemudian ia keluarkan sebagai sedekah, maka ia
tidak akan mendapatkan pahala dan ia tetap mendapatkan dosa.” (HR.Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Semoga Allah Swt. Senantiasa memberikan kemampuan
kepada kita mentaati perintah dan menjauhi larangnan-Nya. Amin
daftar bisnis ustad yusuf mansur
daftar bisnis ustad yusuf mansur